Begini Produksi Beras RI dari Soeharto-Prabowo: Siapa Pecah Rekor?

14 hours ago 2

Jakarta, CNBC Indonesia- Dunia memperingati Hari Pangan Sedunia 2025 pada 16 Oktober, bertepatan dengan usia ke-80 tahun Food and Agriculture Organization (FAO). Tahun ini, FAO mengangkat tema "Hand in Hand for Better Foods and a Better Future", menyerukan kolaborasi global menciptakan masa depan pangan yang sehat, berkelanjutan, dan berketahanan.

Di tengah semangat tersebut, Indonesia masih mengejar cita-cita di sektor pangan pokoknya yakni padi.

Meski menjadi negara agraris dengan tradisi panjang swasembada beras, melansir Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukkan tren produksi yang fluktuatif sepanjang tahun ini.

Tren Produksi Padi 2025 Stabil Tapi Belum Kuat

Menurut BPS, total produksi padi nasional sepanjang Januari-Oktober 2025 mencapai sekitar 53,8 juta ton gabah kering giling (GKG). Angka ini menunjukkan stabilisasi setelah sempat menurun dalam dua tahun terakhir.

Produksi melonjak di Maret dan April, masing-masing mencapai 9,08 juta ton dan 9,09 juta ton, seiring puncak panen raya. Namun, setelah itu tren melandai: Mei 5,09 juta ton, Juni 4,01 juta ton, dan Oktober turun ke 4,74 juta ton.
Musim kemarau panjang dan pergeseran pola curah hujan menjadi faktor utama yang menekan hasil panen di sejumlah sentra produksi utama, seperti Jawa Timur, Jawa Tengah, dan Jawa Barat.

Dinamika Panjang Padi Dari Soeharto ke Prabowo

Perjalanan produksi padi Indonesia sejatinya adalah cermin perjalanan bangsa, dari semangat swasembada, kejayaan revolusi hijau, hingga tantangan iklim dan degradasi lahan di masa kini.

Pada era Presiden Soeharto, ambisi besar swasembada beras diwujudkan lewat program Bimas dan Inmas serta pengembangan varietas unggul berumur pendek. Tahun 1984 menjadi tonggak sejarah ketika Indonesia untuk pertama kalinya dinyatakan swasembada beras oleh FAO, dengan produksi mencapai 37,46 juta ton GKG. Momen itu bukan simbol keberhasilan politik pangan nasional di tengah tekanan inflasi dan krisis pasokan global.

Memasuki 1990-an, laju pertumbuhan produksi mulai melambat. Meski irigasi dan varietas unggul terus dikembangkan, perubahan pola cuaca dan keterbatasan lahan mulai terasa. Krisis ekonomi 1997-1998 memperparah keadaan. Produksi padi turun ke sekitar 49 juta ton akibat kemarau panjang dan lemahnya dukungan pembiayaan bagi petani kecil.

Namun masa itu juga menandai lahirnya kesadaran baru bahwa ketahanan pangan tak bisa hanya mengandalkan subsidi dan pupuk kimia, tetapi juga perlu sistem distribusi dan pasca-panen yang tangguh.

Era reformasi menghadirkan kebijakan yang lebih terdesentralisasi. Pada periode Presiden Megawati hingga Susilo Bambang Yudhoyono, perhatian pemerintah kembali diarahkan pada revitalisasi pertanian.

Program mekanisasi mulai dijalankan, irigasi diperluas, dan dukungan benih serta alat mesin pertanian (alsintan) meningkat pesat. Hasilnya cukup signifikan produksi nasional naik dari sekitar 52 juta ton di awal 2000-an menjadi lebih dari 60 juta ton pada 2008.

Namun capaian tertinggi justru datang di era Presiden Joko Widodo, dengan produksi menembus 81,15 juta ton pada 2017-angka tertinggi dalam sejarah.

Dorongan intensif terhadap modernisasi pertanian, ekspansi lahan rawa, dan mekanisasi panen menjadi pendorong utama. Meski demikian, angka ini kemudian dikoreksi oleh Badan Pusat Statistik (BPS) setelah penerapan metode Kerangka Sampel Area (KSA) pada 2018, yang menilai data lama terlalu optimistis. Produksi 2018 direvisi turun drastis menjadi 59,20 juta ton, memperlihatkan realitas bahwa produktivitas tidak setinggi yang diklaim sebelumnya.

Era tersebut menandai pergeseran penting dari kebanggaan kuantitas menuju tuntutan akurasi dan efisiensi. Data baru memperlihatkan bahwa sebagian besar kenaikan produksi selama ini lebih disebabkan oleh perluasan lahan, bukan peningkatan produktivitas per hektare.

Memasuki masa pemerintahan Prabowo Subianto, fokus kebijakan pangan mulai diarahkan pada ketahanan dan kemandirian pangan berkelanjutan. Prabowo, yang selama ini dikenal menekankan pentingnya food resilience sebagai bagian dari pertahanan negara, berencana memperkuat rantai nilai pangan dari hulu ke hilir-mulai dari riset benih unggul, diversifikasi sumber pangan, hingga efisiensi logistik dan cadangan strategis nasional.

Produksi Stabil, Risiko Meningkat

Tahun 2025 memang membawa sedikit pemulihan. Produksi yang sempat turun kini mulai menunjukkan stabilisasi di kisaran 53,8 juta ton (Januari-Oktober). Namun angka tersebut masih jauh dari kapasitas optimal yang dibutuhkan untuk menyeimbangkan antara produksi dan konsumsi nasional.

Jika dikonversi, dengan tingkat rendemen beras sekitar 62-64%, maka hasil GKG tersebut setara dengan hanya sekitar 33 juta ton beras siap konsumsi. Padahal, kebutuhan nasional sudah mendekati 31 juta ton per tahun. Artinya, margin ketahanan pangan Indonesia saat ini sangat tipis-tidak lebih dari dua juta ton. Dengan sedikit guncangan iklim atau gagal panen, pasokan beras nasional bisa langsung tertekan.

Momentum Hari Pangan Sedunia 2025 menjadi ruang refleksi penting bagi Indonesia. Tema global FAO, "Hand in Hand for Better Foods and a Better Future," menggambarkan pentingnya kerja sama lintas sektor dalam membangun sistem pangan yang tangguh.

FAO menyoroti bahwa dunia kini menghadapi tekanan ganda: lebih dari 673 juta orang masih hidup dalam kelaparan, sementara di sisi lain, pemborosan pangan dan obesitas meningkat di negara-negara maju. Ketimpangan ini juga terjadi di Indonesia: di satu wilayah petani berjuang menghadapi gagal panen, sementara di wilayah lain konsumsi beras berlebih tanpa diversifikasi pangan.

Pada akhirnya, padi ialah simbol kedaulatan dan keberlanjutan. Dalam suasana Hari Pangan Sedunia ke-80 FAO, Indonesia diingatkan bahwa ketahanan pangan adalah fondasi ketahanan nasional.

CNBC Indonesia Research

(emb/emb)

Read Entire Article
Kepri Bersatu| | | |