Jakarta, CNBC Indonesia - Harga batu bara terus merangkak naik meskipun dibayangi gempuran berita negatif.
Merujuk data Refinitiv, harga batu bara ditutup di posisi US$ 102 per ton pada perdagangan Kamis (27/3/2025) atau menguat 1,6%. Penguatan ini memperpanjang tren positif harga batu bara menjadi dua hari beruntun dengan kenaikan menembus 3,8%.
Kenaikan harga juga menjaga pasir hitam di level US$ 100 per ton setelah sempat ambruk ke bawah US$ 100.
Harga batu bara tetap menguat di tengah banyak sentiment negatif, terutama dari China.
Mengutip data dari Asosiasi Transportasi dan Distribusi Batu Bara Tiongkok, Bloomberg melaporkan bahwa stok batu bara berada di dekat level tertinggi sepanjang masa, sehingga harga kemungkinan akan terus tertekan.
"Tidak ada titik cerah, harga mungkin akan mencapai level terendah baru dalam beberapa bulan ke depan," kata seorang analis local, dikutip dari Bloomberg.
Laporan ini muncul setelah Morgan Stanley memperkirakan bahwa Tiongkok kemungkinan akan memberlakukan pembatasan impor batu bara jika harga turun terlalu jauh.
Namun, Tiongkok tidak mungkin memberlakukan larangan total karena kewajibannya di bawah aturan Organisasi Perdagangan Dunia (WTO), negara ini dapat menghambat impor dengan cara menundanya atau meningkatkan inspeksi.
Kelebihan pasokan ini terjadi setelah pembelian batu bara yang agresif pada paruh kedua tahun lalu, sementara konsumsi justru lebih rendah.
Bahkan, pertumbuhan pembangkit listrik tenaga uap di Tiongkok tahun lalu hanya 1,5%, yang merupakan tingkat pertumbuhan terendah.
Namun, meskipun pertumbuhannya lemah, pembangkitan listrik berbasis batu bara tetap mencapai rekor tertinggi pada tahun 2024, dengan produksi mencapai 6,34 triliun kWh.
Pertumbuhan permintaan batu bara di Tiongkok yang terus berlanjut, terutama untuk pembangkit listrik, menunjukkan bahwa batu bara tetap menjadi sumber daya utama (baseload) dalam sistem energi Tiongkok. Batu bara berperan sebagai cadangan untuk mendukung lonjakan produksi listrik dari tenaga angin dan surya, dan peran ini akan tetap bertahan selama bertahun-tahun seiring meningkatnya permintaan listrik akibat elektrifikasi rumah tangga dan transportasi.
Namun, dalam jangka pendek, pembangkitan listrik dari batu bara dan gas di Tiongkok mengalami penurunan dalam dua bulan pertama 2025. Ini hanya terjadi tiga kali dalam 35 tahun terakhir.
Penurunan ini bukan disebabkan oleh peningkatan pembangkit listrik dari tenaga angin dan surya, melainkan akibat cuaca yang lebih hangat, yang mengurangi permintaan energi untuk pemanas.
CNBC INDONESIA RESEARCH
[email protected]
(mae/mae)