Bankir Nomor 1 Dunia Peringatkan Ancaman Ledakan Kredit Macet

10 hours ago 2

Jakarta, CNBC Indonesia - Jamie Dimon, CEO JPMorgan Chase yang merupakan bank terbesar di Amerika Serikat, memberi peringatan keras pada 14 Oktober lalu. Sosok paling berpengaruh di industri perbankan tersebut melontarkan pernyataan yang menyinggung potensi masalah baru di pasar kredit AS setelah kegagalan dua perusahaan besar, yaitu Tricolor, perusahaan pembiayaan mobil, dan First Brands, produsen suku cadang kendaraan.

"Saya mungkin tidak seharusnya mengatakan ini, tapi kalau Anda melihat satu kecoak, kemungkinan besar masih ada yang lain," ujarnya belum lama ini, dikutip dari The Economist, Selasa (21/10/2025).

Dimon mengingatkan bahwa kedua kasus tersebut bisa jadi bukan yang terakhir. Hanya berselang dua hari, kekhawatiran pasar langsung terwujud. Saham bank-bank regional AS anjlok 6% pada 16 Oktober, setelah dua bank kelas menengah, Western Alliance Bancorporation asal Arizona dan Zions Bancorporation dari Utah mengumumkan bahwa mereka menggugat untuk memulihkan pinjaman senilai total US$160 juta kepada jaringan dana investasi yang mereka tuding melakukan penipuan.

Pihak peminjam, Cantor Group, membantah tuduhan itu. Meskipun nilainya relatif kecil, investor kini menjadi sangat sensitif terhadap setiap tanda tekanan baru di sektor perbankan, terutama di bank-bank berukuran menengah yang rentan.

Pekan ini diperkirakan akan menjadi masa penuh ketegangan bagi para manajer investasi. Berkat euforia atas kemajuan kecerdasan buatan (AI), pasar saham sejauh ini berhasil mengabaikan berbagai kekhawatiran sepanjang tahun.

Indeks S&P 500 telah naik 14%, jauh di atas rata-rata historis. Namun, banyak analis di Wall Street menilai reli tersebut bisa segera berakhir.

Ketika kekhawatiran atas kesehatan debitur dan, pada gilirannya, para kreditur meningkat, para investor profesional kini berfokus pada tiga area utama risiko.

Pertama, tekanan di pasar pendanaan antarbank semakin terasa. Suku bunga pinjaman antarbank kini rata-rata 0,25 poin persentase di atas suku bunga acuan The Fed, tertinggi dalam enam tahun terakhir. Ini menandakan meningkatnya kebutuhan likuiditas dan kehati-hatian bank untuk saling meminjamkan dana dengan biaya murah.

Sebagai bukti tambahan, bank-bank meminjam lebih dari US$15 miliar dari fasilitas repo tetap milik The Fed pada 15-16 Oktober-angka tertinggi dalam dua hari sejak awal pandemi COVID-19.

Kedua, perhatian investor juga tertuju pada dunia kredit swasta (private credit) yang kian berpengaruh dalam pembiayaan korporasi, khususnya bagi perusahaan menengah berisiko. Sejak krisis keuangan global 2007-2009, peran manajer aset dalam pemberian kredit terus meluas.

Pekan lalu, muncul perdebatan antara pelaku pasar private credit dan bank soal siapa yang lebih berisiko. Marc Rowandari Apollo dan Jonathan Gray dari Blackstone menyoroti bahwa banyak bank memiliki eksposur terhadap kebangkrutan Tricolor dan First Brands. Saham Jefferies, bank investasi yang paling terpapar ke First Brands, bahkan telah merosot lebih dari 25% sejak puncaknya sebulan lalu.

Namun bagi investor secara umum, saling tuding itu tidak banyak berarti. Hubungan antara sektor perbankan dan kredit swasta kini semakin erat.

Menurut riset terbaru IMF, bank-bank di AS dan Eropa telah menyalurkan sekitar US$4,5 triliun ke perusahaan kredit swasta, hedge fund, dan lembaga nonbank lainnya. Artinya, apa pun yang terjadi di pasar kredit swasta kini juga berdampak langsung pada bank, dan sebaliknya.

Baik bank maupun pemberi pinjaman swasta tidak akan kebal terhadap penurunan ekonomi umum atau lonjakan kebangkrutan. Banyak pelaku pasar diam-diam mengakui bahwa standar pemberian pinjaman dalam beberapa tahun terakhir terlalu longgar.

Setelah tiga tahun kenaikan suku bunga The Fed, para debitur dengan kondisi keuangan lemah kini mulai kesulitan melakukan refinancing, dan bank-bank regional menjadi yang paling terekspos.

Risiko ketiga berkaitan dengan kerugian belum terealisasi (unrealized losses) di neraca bank-bank AS akibat kenaikan suku bunga jangka panjang. Isu ini sempat memicu krisis mini pada 2023 yang menjatuhkan Silicon Valley Bank. Langkah darurat pemerintah kala itu, mengizinkan bank menilai obligasi pemerintah sesuai nilai nominal, bukan nilai pasar yang jatuh, sempat menenangkan pasar, tapi kebijakan itu kini telah dihentikan.

Kerugian belum terealisasi memang sudah menurun, tapi masih besar. Dari puncak US$690 miliar pada 2022, kini tersisa sekitar US$395 miliar. Angka ini membuat bank rentan jika lebih banyak pinjaman bermasalah muncul.

Dalam kondisi normal, kekhawatiran seperti ini mungkin hanya memicu sedikit gejolak. Namun setelah bertahun-tahun era uang murah dan reli panjang di pasar, Wall Street kini mulai cemas bahwa segelintir kredit macet bisa menjadi sinyal awal masalah yang lebih besar. Dan para investor pun kini waspada, mencari tanda-tanda "kecoak" baru di sudut pasar keuangan Amerika.


(fsd/fsd)
[Gambas:Video CNBC]

Next Article Pantas Debt Collector Menjamur di RI, Bisnisnya Bikin Ngiler

Read Entire Article
Kepri Bersatu| | | |