1 Tahun Prabowo-Gibran: Sebuah Refleksi dari Sisi Perekonomian

9 hours ago 2

Catatan: Artikel ini merupakan opini pribadi penulis dan tidak mencerminkan pandangan Redaksi CNBCIndonesia.com

Genap satu tahun pemerintahan Prabowo-Gibran beserta Kabinet Merah Putih mengelola negara dengan berbagai kebijakan yang dikeluarkan. Bak roller coaster, dinamika pemerintahan kadang naik kadang turun, kadang di atas dan juga kadang di bawah.

Namun, harus diakui bahwa banyak kebijakan-kebijakan yang membuat masyarakat merasa di bawah terus. Mulai dari rencana kenaikan tarif pajak pertambahan nilai (PPN), distribusi gas melon, hingga masalah pom bensin swasta. Tentu perjalanan tersebut memuat hal yang positif namun juga tidak sedikit pekerjaan rumah yang masih diemban.

Ketika ada hal yang positif, tentu kita patut memberikan apresiasi kepada pemerintah seperti penebalan pemberian bantuan sosial. Bantuan sosial sangat dibutuhkan oleh masyarakat kelas menengah ke bawah untuk bertahan hidup. Bantuan berupa pangan maupun nonpangan memang diharapkan mampu menjadi bantalan konsumsi bagi masyarakat yang membutuhkan terlepas masih ada persoalan data dan sebagainya.

Namun demikian, PR bagi pemerintah masih banyak selama satu tahun terakhir. Mulai dari persoalan ekonomi hingga politik masih jauh dari apa yang diharapkan oleh masyarakat. Selama satu dekade terakhir, pertumbuhan ekonomi Indonesia menunjukkan tren yang mengkhawatirkan karena hampir tidak pernah mencapai target yang ditetapkan oleh pemerintah.

Data dari Badan Pusat Statistik memperlihatkan bahwa hanya pada tahun 2022 ekonomi Indonesia berhasil memenuhi target APBN, sementara tahun-tahun lainnya terus tertinggal. Target tahun 2025 yang kinerja ekonomi yang tidak stabil ini juga memperlihatkan bahwa target ambisius pemerintah belum diiringi dengan strategi implementasi yang cukup efektif.

Konsumsi rumah tangga, yang selama ini menjadi tulang punggung pertumbuhan ekonomi, menunjukkan pola fluktuatif sejak 2011. Tahun 2024 diperkirakan akan menjadi periode di mana konsumsi rumah tangga tumbuh lebih tinggi dibandingkan dengan pertumbuhan ekonomi nasional.

Fakta itu menandakan tekanan yang besar pada daya beli masyarakat untuk menopang aktivitas ekonomi. Termasuk di tahun 2025 ini di mana pertumbuhan konsumsi rumah tangga selalu di bawah 5 persen.

Fiskal tidak Optimal
Salah satu yang jadi masalah adalah penerimaan negara yang buruk dalam empat tahun terakhir. Kinerja perpajakan tahun 2025 merupakan yang terburuk jika dibandingkan periode 2022 hingga 2024.

Penerimaan pajak per September 2025, menurun hingga -4,4 persen. Sedangkan di tahun 2023, pertumbuhan penerimaan pajak mampu tumbuh hingga 5,91 persen. Data lainnya menyebutkan realisasi penerimaan pajak dibandingkan dengan target hanya 59,17 persen. Turun jauh dibandingkan dengan tahun 2023 (80,78 persen) dan 2024 (68,12 persen).

Kenapa penerimaan pajak menurun kinerjanya? Masalah paling fundamental adalah penurunan daya beli masyarakat yang menyebabkan konsumsi rumah tangga kian melemah. Pada triwulan I dan II, pertumbuhan konsumsi rumah tangga berada di bawah 5 persen, tepatnya masing-masing 4,96 persen dan 4,97 persen.

Jika kita lihat angka indeks keyakinan konsumen (IKK) terjadi pelemahan selama satu tahun terakhir, kendati masih berada di zona optimis. Pada November 2024, nilai IKK mencapai 125 poin, namun angka tersebut terjun bebas menjadi 114 poin per September 2025. Ketika konsumsi rumah tangga tidak optimal, maka penerimaan pajak menurun, khususnya PPN yang menurun hingga 13 persen.

Dampak dari pelemahan dari penerimaan pajak yang menurun adalah perlambatan belanja pemerintah. Realisasi belanja pemerintah hanya mencapai 61,71 persen, angka terendah sejak 2021.

Kondisi ini menunjukkan lemahnya penyerapan anggaran yang semestinya menjadi instrumen utama untuk menjaga pertumbuhan ekonomi dan memperkuat daya tahan sosial masyarakat. Ketika belanja negara tidak optimal, multiplier effect terhadap perekonomian pun melemah, sehingga program pembangunan dan stimulus ekonomi berjalan di bawah kapasitas idealnya.

Di sisi lain, rasio defisit APBN terhadap PDB tercatat sebesar -1,56 persen pada 2025, meningkat dari tahun sebelumnya yang berada di -1,10 persen. Meskipun secara nominal angka ini masih dalam batas aman, tren pelebaran defisit di tengah rendahnya realisasi belanja menjadi sinyal kontradiktif terhadap efektivitas kebijakan fiskal pemerintah.

Kondisi ini bisa mengindikasikan bahwa penerimaan negara tidak tumbuh seimbang dengan kebutuhan pembiayaan publik. Jika tren ini dibiarkan, risiko ketidakseimbangan fiskal dapat meningkat dan menghambat ruang gerak pemerintah dalam menjaga stabilitas ekonomi nasional di masa mendatang.

Di saat kondisi fiskal yang melemah, kondisi moneter juga tidak mampu menolong perekonomian menjadi lebih baik. Sektor keuangan Indonesia masih menghadapi tekanan berat meskipun otoritas moneter telah mengambil langkah agresif untuk menurunkan suku bunga.

Data Bank Indonesia tahun 2025 menunjukkan bahwa pertumbuhan kredit hanya berada di kisaran 7,01 persen, jauh di bawah tingkat yang dibutuhkan untuk mendukung percepatan ekonomi. Tren ini mencerminkan lemahnya minat dunia usaha dalam mengambil pinjaman baru, baik karena ketidakpastian prospek ekonomi maupun karena masih terbatasnya permintaan domestik.

Industri Lemah
Dengan kondisi permintaan masyarakat yang lemah, maka sektor yang mendapatkan efek negatif adalah industri manufaktur. Meskipun klaim pemerintah industri manufaktur Indonesia tumbuh 5,68 persen, namun pada leading indicator lainnya menunjukkan hal yang sebaliknya.

Purchasing Manager Index (PMI) manufaktur Indonesia, dikeluarkan oleh lembaga S&P, berada di zona nonekspansif dalam periode April-Juli 2025. Sejalan dengan PMI Manufaktur, utilitas produksi dari manufaktur nasional juga mengalami pelemahan.

Dampaknya adalah kenaikan dari jumlah kasus pemutusan hubungan kerja (PHK) di periode awal kepemimpinan Prabowo. Mengacu data Kementerian Ketenagakerjaan, pertumbuhan jumlah kasus PHK mencapai 32,19 persen per Juni 2025. Ada 42 ribu tenaga kerja yang terkena PHK selama 2025 ini. Jumlah tersebut bisa lebih tinggi lagi ketika daya beli masyarakat masih mengalami pelemahan.

Selain jumlah PHK yang terus bertambah, keyakinan masyarakat untuk mendapatkan pekerjaan semakin merosot. Survei dari Bank Indonesia menyebutkan, indeks ketersediaan lapangan kerja merosot dari 112 poin di Desember 2024, menjadi 92 poin di September 2025. Angka ini menunjukkan bahwa masyarakat pesimis bisa mendapatkan pekerjaan dengan kondisi perekonomian seperti sekarang.

Di sisi lain, angka realisasi investasi memang menunjukkan kinerja yang positif dengan pertumbuhan mencapai 13,7 persen. Namun demikian, terjadi masalah serius terkait dengan penanaman modal asing (PMA). Investor asing dikenal sangat sensitif terhadap dinamika sosial, politik, dan ekonomi suatu negara sebelum menanamkan modalnya. Mereka bukan hanya melihat potensi keuntungan, tetapi juga kestabilan dan kepastian kebijakan.

Ketika terjadi gejolak di dalam negeri-seperti yang sempat mencuat pada akhir Agustus lalu-dan respon pemerintah dinilai kurang sigap, hal itu menjadi sinyal negatif bagi pelaku pasar global. Tidak heran bila banyak investor memilih bersikap wait and see, menunggu arah kebijakan yang lebih jelas sebelum melangkah. Dampaknya adalah realisasi PMA tahun ini menurun tajam.

Ubah Kebijakan
Saya berharap refleksi satu tahun Prabowo-Gibran menjadi momentum bagi pemerintah untuk bisa menimbang ulang arah kebijakan. Sebagai sesama anak bangsa, tentu semua pihak di republik ini menginginkan hasil yang terbaik. Bukan hanya pertumbuhan ekonomi yang tinggi, namun juga inklusif dan berkualitas. Manfaat pertumbuhan ekonomi yang tinggi mampu memberikan harapan bagi masyarakat untuk keluar dari jurang kemiskinan.

Kebijakan bisa dimulai dari pemerintah yang mengeluarkan program yang pro terhadap masyarakat luas. Program Makan Bergizi Gratis (MBG) misalkan, yang merupakan program untuk membantu meningkatkan kualitas gizi anak-anak kita, saat ini masih bermasalah karena banyak kejadian keracunan.

Alangkah baiknya program MBG ini dievaluasi secara total dan jika perlu diubah dari universal program menjadi targeted program. Kemudian Koperasi Merah Putih, baik di desa maupun kelurahan, yang masih sangat mentah untuk kemudian di fokuskan pengembangan desa lewat instrumen yang sudah ada.

Begitu pula dengan kebijakan perpajakan yang seharusnya bisa menjadi kebijakan utama ketika daya beli masyarakat sedang melemah. Pajak seharusnya berfungsi sebagai automatic stabilizer dengan memberikan otoritas fiskal membuat kebijakan pajak sesuai dengan kondisi ekonomi.

Ketika ekonomi sedang lesu, daya beli melemah, maka tarif pajak (termasuk tarif PPN) bisa diturunkan. Namun ketika ekonomi berjalan cepat dan konsumsi tidak terkendali sehingga inflasi tinggi, tarif PPN bisa dinaikkan.

Jadi ketika ada wacana tarif PPN ingin diturunkan seperti yang disampaikan Menteri Keuangan Purbaya Yudhi Sadewa, saya mendukung kebijakan tersebut. Dengan menurunkan tarif PPN, maka harga total barang bisa menurun sehingga daya beli bisa meningkat.


(miq/miq)

Read Entire Article
Kepri Bersatu| | | |