Jakarta, CNBC Indonesia - Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) menyampaikan bahwa perubahan tarif royalti di sektor mineral dan batu bara (minerba) ditujukan guna memberikan rasa keadilan.
Direktur Jenderal Mineral dan Batu Bara (Minerba), Tri Winarno menyadari bahwa perubahan tarif royalti di sektor minerba ini menuai pro-kontra. Namun, ia menekankan kebijakan ini diambil untuk memberikan keadilan bagi para pelaku usaha tambang.
Pasalnya, kenaikan tarif royalti hanya berlaku untuk Izin Usaha Pertambangan (IUP) dan dikecualikan untuk Pemegang Perjanjian Karya Pengusahaan Pertambangan Batu Bara (PKP2B) yang kini mendapat perpanjangan Izin Usaha Pertambangan Khusus (IUPK).
"Lebih memberikan keadilan gitu ya," kata Tri di Gedung Kementerian ESDM, dikutip Selasa (25/3/2025).
Tri mengatakan bahwa sebelum pemerintah mengerek tarif royalti untuk IUP, pemerintah sudah melakukan perhitungan secara menyeluruh. Adapun, perhitungan itu berdasarkan pada laporan keuangan dua tahun berturut-turut.
"Perhitungan itu berdasarkan pada laporan keuangan dua tahun berturut-turut dari beberapa perusahaan. Kemudian kita evaluasi," katanya.
Tri menyebut bahwa pada saat evaluasi dilakukan, kebijakan ini tidak menunjukkan adanya potensi perusahaan akan mengalami kebangkrutan. Ia menegaskan bahwa pemerintah akan tetap menjaga IRR atau Internal Rate of Return.
"Itu tidak menunjukkan adanya potensi perusahaan itu akan mengalami collapse atau negatif cashflow-nya. Nggak akan lah. Kita jaga IRN-nya tetap positif," kata dia.
Selain itu, ia juga memberikan tanggapan mengenai besaran tarif royalti komoditas tambang RI yang disebut-sebut menjadi yang tertinggi di dunia dibandingkan dengan negara lain.
Menurut Tri pengenaan tarif royalti tersebut dinilai setara dengan arus kas yang masih rendah di negara ini, apabila dibandingkan dengan negara lain.
"Negara kita kebetulan kan cashflow-nya rendah ya dibandingkan negara (lain). Jangan selalu. Jadi harapan saya kepada teman-teman juga. Ini negara kita lagi mau membangun, butuh dan lain sebagainya. Mari bareng-bareng dukung kalau misalnya isu negara kita royalty-nya terlalu tinggi. Lho kita 40% lebih rendah cost-nya," katanya.
Sebelumnya, para pelaku usaha menilai bahwa beban industri semakin berat dengan adanya kebijakan tersebut. Salah satunya seperti nikel yang sebelumnya ditetapkan sebesar 10% akan naik menjadi 14-19%.
Sekretaris Umum Asosiasi Penambang Nikel Indonesia (APNI), Meidy Katrin Lengkey mengatakan apabila tarif royalti naik menjadi 14-19%, Indonesia akan memiliki tarif royalti tertinggi dibandingkan dengan negara penghasil nikel lainnya.
"Kita tarif royalti saat ini kan 10%. Akan ada kenaikan 14-19%. Ternyata dari seluruh negara penghasil nikel kita yang tertinggi yang 10% sebelum tambah yang 14-19%," ujarnya dalam Press Conference Wacana Kenaikan Tarif Royalti Pertambangan, dikutip Jumat (21/3/2025).
Meidy menilai di beberapa negara seperti Amerika Serikat, negara-negara Asia, Eropa, dan bahkan negara tetangga tarif royalti nikel lebih rendah. Beberapa negara bahkan menerapkan royalti berbasis keuntungan.
"Di beberapa negara, Amerika, Amerika Asia, dan Eropa, dan negara-negara tetangga kita, royalti itu lebih rendah. Di Indonesia. Itu kalau royalti 10%. Kalau ditambah lagi 14-19% waduh. Kita benar-benar negara kaya ya," ujarnya.
Menurut dia, kenaikan royalti ini akan semakin membebani industri yang saat ini sudah menghadapi berbagai macam kebijakan lainnya. Misalnya seperti naiknya harga B40, aturan DHE ekspor dan kenaikan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) menjadi 12%.
(pgr/pgr)
Saksikan video di bawah ini:
Harga 'To The Moon', Toko Emas di Dubai Bahagia
Next Article Royalti Nikel Bakal Naik Jadi 15%? Ini Jawaban ESDM