Catatan: Artikel ini merupakan opini pribadi penulis dan tidak mencerminkan pandangan Redaksi CNBCIndonesia.com
Tepat sebulan setelah diluncurkan oleh Presiden Prabowo Subianto pada Senin (24/2/2025), CEO Badan Pengelola Investasi Daya Anagata Nusantara (Danantara Indonesia) Rosan Roeslani mengumumkan daftar lengkap pengelola lembaga itu, mulai dari dewan pengawas hingga pelaksana atau managing director. Danantara juga melibatkan sejumlah pakar dari luar negeri. Beberapa di antaranya, yaitu Ray Dalio, Jeffrey Sachs, F. Chapman Taylor, dan Thaksin Shinawatra.
Sekilas susunan pengelola Danantara yang dinakhodai oleh Rosan memberikan rasa optimisme akan peran dan kontribusi Danantara dalam mengelola kekeyaan negara dan perekonomian nasional. Initial funding atau pendanaan awal Danantara diproyeksi mencapai US$ 20 miliar atau sekitar Rp 320 triliun.
Danantara pada tahap awal akan menaungi setidaknya tujuh BUMN jumbo. Nantinya Danantara akan mengelola aset sebesar US$ 900 miliar atau sekitar Rp 14.678 triliun. Hal ini menempatkan Danantara sebagai SWF terbesar ke tujuh di dunia.
Danantara awalnya akan lebih fokus untuk membiayai investasi yang bersifat jangka panjang (long term), untuk portofolio investasi, Danantara akan lebih terdiversifikasi ke beberapa proyek antara lain: food security, energy security, down streaming, digital infrastructure.
Parameter yang jadi pertimbangan penempatan dana, diantaranya: dari segi return, proyek, risiko, pengalaman kerjaannya, hingga penciptaan ekspor dan penurunan impor. Dengan pola investasi tersebut diharapkan, Danantara akan berperan sebagai agen pertumbuhan ekonomi, pembukaan lapangan kerja, dan manajemen risiko.
Selain sebagai holding investasi, Danantara juga memiliki holding operasional, dalam melakukan pengelolaan operasional BUMN, memperkuat fundamental permodalannya dan pengelolaan BUMN. Sebagai pengelola BUMN, Danantara diharapkan akan membentuk BUMN sebagai perusahaan yang memiliki good governance, risk management dan compliance sustainability. Menjadi momen bagi pemerintah untuk menyehatkan BUMN dan meningkatkan kinerjanya.
Danantara dalam perjalanannya nanti akan mengelola dana sekitar Rp14.678 triliun, tetapi dana kelolaan tersebut tidak berbentuk petty cash atau dana segar. Hal ini disebabkan aset perusahaan BUMN yang dikelola, bukanlah aset likuid yang bisa langsung digunakan untuk berinvestasi oleh Danantara.
Aset bank-bank anggota Himpunan Bank Negara mayoritas berbentuk kredit yang berasal dari Dana Pihak Ketiga (DPK) bank yang berasal dari nasabah. Sementara aset BUMN non-bank sebagian besar berupa aset fisik maupun aset finansial.
Salah satu alternatif yang bisa digunakan oleh Danantara untuk mendapatkan dana segar atas cash money adalah dengan mengeluarkan surat utang untuk kebutuhan pendanaan proyek-proyek pemerintah. Selain menyerap likuiditas domestik, Danantara diharapkan dapat mendatangkan likuiditas dari luar negeri. Hal ini mengingat kapasitas aset Danantara yang sangat besar sehingga surat utang yang dikeluarkan jauh lebih murah, terjamin, serta efisien.
Cara lain yang bisa digunakan oleh Danantara untuk mendatangkan dana segar adalah dengan menerbitkan Sukuk Global. Minat investor terhadap instrumen keuangan syariah masih sangat besar.
Penerbitan sukuk bisa menjadi alternatif yang paling mungkin dilakukan oleh Danantara, potensi investor dari Timur Tengah juga sangat besar, hampir semua SWF yang berasal dari Timur Tengah juga mengeluarkan sukuk sebagai instrument investasinya.
Potensi Sukuk Global
Sebagai Sovereign Wealth Fund (SWF) baru, Danantara perlu mendapatkan kesempatan untuk tumbuh dan berkembang. Potensi besar Danantara sebagai SWF global perlu melirik industri keuangan global dan industri halal yang semakin masif di seluruh dunia.
Sampai saat terdapat sekitar 30 SWF, tersebar di seluruh dunia yang memiliki skema akad syariah, baik secara penuh maupun parsial. Terbesar adalah Abu Dhabi Investment Authority (ADIA) dan Saudi Arabia Monetary Agency (SAMA) Foreign Holdings milik Uni Emirat Arab (UEA) dan Arab Saudi, yang masing-masing mengelola $773 miliar dan $744 miliar.
Surat Berharga Syariah Negara (SBSN) atau yang juga dikenal dengan nama Sukuk Negara, menunjukkan perannya yang semakin signifikan dalam mendukung pembangunan di Indonesia. Sukuk Negara ditujukan untuk membiayai Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) dan pembangunan nasional. Instrumen investasi ini menjadi sumber pembiayaan alternatif untuk membiayai proyek-proyek pembangunan nasional, seperti infrastruktur, pendidikan, dan kesehatan.
Penerbitan Sukuk meningkat setiap tahunnya. Proporsi Sukuk dalam penerbitan SBN sudah mencapai 30 persen. Dengan market share mencapai 20 persen dari total yang beredar di pasar. Bahkan tidak tertutup kemungkinan penerbitan sukuk bisa melebihi SUN lainnya.
Persentase antara SUN dan Sukuk Negara lebih seimbang sangat penting, karena diversifikasi investor menjadikan pembiayaan APBN akan lebih berkelanjutan. Apalagi, karakter investor Sukuk Negara selama ini dinilai lebih resilien atau tahan banting.
Pemerintah sudah memiliki pengalaman dalam menerbitkan Obligasi Syariah atau Sukuk global. Pada tahun 2024 lalu, pemerintah meluncurkan penerbitan Sukuk Global senilai 2,75 miliar dollar Amerika Serikat (AS), yang berhasil menarik minat besar dari investor internasional.
Sukuk tersebut telah dicatatkan di Singapore Exchange Securities Trading Limited serta NASDAQ Dubai. Transaksi ini menunjukkan tingginya minat pasar terhadap surat utang pemerintah, dengan pesanan akhir mencapai lebih dari 4,9 miliar dollar AS, atau oversubscribed lebih dari 1,8 kali dari jumlah penerbitan.
Danantara juga bisa melirik industri halal global yang juga menunjukkan perkembangan yang signifikan. Selain ditopang oleh jumlah populasi Muslim global yang mencapai 1,8 miliar jiwa diseluruh dunia.
Pertumbuhan industri halal didukung oleh terus berkembangnya ekonomi syariah di banyak kawasan. Konsumsi produk industri halal pada tahun 2024 mencapai USD2,4 triliun (State of Global Islamic Economy Report 2023-2024). Sedangkan konsumsi produk halal global oleh konsumen muslim mencapai sebesar USD2,29 triliun, mengindikasikan peluang yang sangat besar bagi industri halal secara global.
Potensi industri halal juga terus meningkat di dalam negeri. Pada tahun 2024, Indonesia mencatatkan ekspor produk halal senilai USD 41,42 miliar, atau setara Rp673,90 triliun. Pada periode yang sama tahun sebelumnya, surplus neraca perdagangan produk halal Indonesia mencapai USD 29,09 miliar.
Ekspor produk halal berpotensi menjadi sumber baru perdagangan global dalam mendukung target pertumbuhan ekonomi Indonesia sebesar delapan persen. Salah satu yang berpeluang besar untuk dikembangkan oleh Danantara ke depan adalah Kawasan Ekonomi Khusus (KEK) industri halal.
Sebagai aset bangsa yang diharapkan menjadi lokmomotif perekonomian nasional, keberadaan Danantara memiliki potensi besar untuk masuk ke sektor keuangan syariah melalui penerbitan sukuk dan industri halal. Bagaimanapun, perkembangan industri keuangan syariah dan produk halal menunjukkan perkembangan yang signifikan dan menjanjikan, bahkan tidak lagi sebagai alternatif, tetapi sudah menjadi arus utama perekonomian nasional.
(miq/miq)